I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia
mempunyai lahan rawa seluas 33,40 juta
hektar yang terdiri atas rawa pasang surut dan rawa lebak dan umumnya
tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di Kalimantan Barat, terdapat rawa lebak seluas 35 436 hektar
dan baru dimanfaatkan sekitar 27,6%.
Secara umum, pemanfaatan rawa lebak masih terbatas dan hanya bersifat untuk
menopang kehidupan sehari-hari dan masih tertinggal jika dibandingkan dengan
agroekosistem lain, seperti lahan kering atau lahan irigasi.
Lahan rawa lebak terdapat cukup luas di Indonesia, merupakan salah satu
alternatif areal yang dapat dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan pangan yang
terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya
alih fungsi lahan setiap tahun.
Di pulau Sumatera sendiri, lahan rawa lebak yang terluas terdapat di
Provinsi Sumatera Selatan, yakni mencapai 2,98 juta ha. Namun lahan rawa lebak
yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman padi di Sumatera Selatan baru seluas
368.690 ha, yang terdiri dari 70.908 ha lebak dangkal; 129.103 ha lebak
tengahan, dan 168.670 ha lebak dalam. Artinya luas areal rawa lebak Sumsel yang
belum dimanfaatkan seluas 2,60 juta ha.
Dikemukakan oleh Gatot Irianto (2006), bahwa potensi lahan lebak yang
sangat luas, bila 10 % saja dapat dikelola denggan baik dengan intensitas tanam
meningkat dari 0% menjadi 1 kali, maka dapat menghasilkan produksi padi sekitar
2.6633.200 ton atau 5.326.400 ton dari 1 kali menjadi 2 kali tanam dengan
rata-rata produktivitas 2 ton/ha. Maka akan terjadi lompatan produksi yang
sangat signifikan. Bila produktivitasnya dapat direalisasikan mencapai 3
ton/hha atau 4 ton/ha maka produksi pangan nasional dapat ditingkatkan secara
meyakinkan. Selain komoditas padi, palawija, hortikultura, ternak dan perikanan
mempunyai potensial untuk dikembangkan.
Di Kabupaten Ogan Ilir luas total lahan rawa lebak adalah 61.940 ha. Untuk
lahan yang sudah dikembangkan seluas 33.986 ha dan lahan yang belum
dikembangkan seluas 27.954 ha (Bappenas, 2006). Artinya jika kita melihat luas
lahan rawa lebak yang belum dimanfaatkan, ini merupakan potensi yang bisa
dikembangan menjadi areal lahan pangan untuk menyokong produksi pangan secara
nasional, apalagi jika diiringi dengan metode yang tepat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa saja permsalahan dalam pengembagan
lahan rawa lebak ?
1.2.2
Apa penyebab pengusahaan rawa lebak masih
jauh dari harapan ?
1.2.3
Apa saja solusi untuk memanfaatkan lahan
rawa lebak ?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui permasalahan -
permasalahan dalam pengembangan lahan rawa lebak.
1.3.2
Untuk mengetahui penyebab pengusahaan
rawa lebak masih jauh dari harapan.
1.3.3
Untuk mengetahui solusi dalam
memanfaatkan lahan rawa lebak.
II.
PEMBAHASAN
Rawa lebak umumnya
merupakan daerah yang terdapat di kiri dan kanan sungai besar dan anak sungai,
dengan topografi datar, tergenang air pada musim penghujan, dan kering pada
musim kemarau. Genangan air merupakan watak
bawaan (inherence) dan sebagai ciri
hidro-ekologi rawa sehingga dapat
menjadi unsur pembeda utama, antara satu
daerah dengan lainnya, sekalipun dalam
satu kawasan (Noor, 2007). Ekosistem rawa lebak merupakan dataran banjir, dan
dibeberapa tempat selain untuk kegiatan pertanian, juga memiliki kontribusi
penting bagi masyarakat sekitar untuk
kegiatan perikanan, dan dari kegiatan ini rawa lebak dapat dijadikan sebagai
salah satu sumber protein hewani, jalur
transportasi, kesempatan kerja dan
juga sebagai sumber penghasilan
alternatif (Sulistiyarto, 2008).
2.1 Permasalahan Dalam Pengembagan
Lahan Rawa Lebak
A.
Kondisi
Lahan
Kondisi
dan karakteristik fisik lahan pasang surut
merupakan lahan yang tidak normal karena banyak faktor pembatas, diantaranya:
·
Kondisi Gambut
Umumnya kondisi gambut tebal hingga
kedalaman 3 – 5 m dimana nilai keasaman sangat tinggi (pH<4) sehingga unsur
hara yang merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman sangat minim atau
terbatas.
·
Kondisi Pirit
Umumnya kondisi pirit adalah
dangkal sehingga jika teroksidasi dengan udara akan menjadi racun
bagi tanaman.
·
Salinitas/ Intrusi Air Laut
Perilaku pasang surut air laut
berdampak pada masuknya air asin di lahan, terutama di daerah pesisir atau
berdekatan dengan laut/selat.
·
Hidrotopografi Lahan
Secara umum, kondisi hidrotopografi
lahan Tipe C dan D dimana air saluran/parit tidak dapat menggenangi lahan
tetapi sebatas membasahi permukaan lahan usaha. Kondisi topografi umumnya adalah
datar sehingga pada musim kemarau, air sungai turun dan tanaman banyak yang
mati. Pada
musim hujan jika terjadi banjir,
air sungai naik menggenangi lahan.
B.
SDA
dan SDM
Permasalahan yang terkait dengan
ketenagakerjaan dan sumber daya manusia di daerah rawa yang menonjol
diantaranya adalah:
·
Rendahnya tingkat pengetahuan dan
keterampilan.
·
Terbatasnya ketersediaan tenaga kerja
untuk pertanian.
C.
Teknologi
Budidaya
Produksi pertanian masih rendah,
hal ini disebabkan beberapa hal diantaranya
adalah sebagai berikut:
·
Sistem tata air yang masih sederhana.
·
Tidak adanya O&P jaringan yang
memadai.
·
Sistem dan pola bercocok tanam yang
sederhana.
·
Tingginya harga saprodi dan rendahnya
daya beli masyarakat petani.
·
Rendahnya harga komoditas pangan.
·
Faktor alam/cuaca yang kurang mendukung,
misalnya curah hujan yang
rendah.
D.
Pelaksanaan
O dan P
Sejauh
ini pengelolaan air (O&P) yang baik di kawasan lahan reklamasi rawa belum
menjamin secara otomatis terjadinya peningkatan produktivitas pertanian pada
tingkat yang optimal. Beberapa penyebabnya adalah:
·
Sarana dan prasarana tata air yang belum
lengkap.
·
Terbatasnya alokasi dana bagi kegiatan
O&P.
·
Tidak adanya petugas O&P.
·
Sistem jaringan tersier (tata air mikro)
umumnya belum ada.
·
Rendahnya partisipasi petani dalam
kelompok P3A.
E.
Kelembagaan
·
Belum adanya lembaga pendukung di daerah
rawa yang berperan aktif dalam membantu petani untuk mengembangkan usaha-usaha
budidaya pertanian maupun usaha-usaha lain yang berbasis pertanian guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
·
Kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan
masih belum mendukung kegiatan pengembangan pertanian yang berkelanjutan.
·
Belum aktifnya peran petani baik secara
individu maupun kelompok seperti P3A atau gabungan P3A. Bahkan P3A yang telah
terbentuk umumnya belum mandiri dalam pengelolaan dan pengoperasian jaringan
dikarenakan keterbatasan dana.
·
Belum lengkapnya ketentuan yang mengatur
tentang penyelenggaraan dan pengembangan rawa sebagai penjabaran UU No. 7 tahun
2004 tentang Sumber Daya Air dari mulai tingkatan Peraturan Pemerintah sampai
kepada
Norma Standar Pedoman dan Manual
(NSPM).
Selain
itu juga terdapat juga permasalahan lain diantaranya :
·
Sarana dan Prasarana Transportasi
Aksesibilitas relatif
masih rendah. Angkutan transportasi masih mengandalkan
transportasi
air, sementara transportasi darat masih mengandalkan ojek yang relative lebih
mahal karena fasilitas jalan masih terbatas dan kurang nyaman untuk dilalui.
·
Air Bersih
Terbatasnya
sumber-sumber air bersih khususnya pada musim kemarau dapat menyebabkan
rendahnya derajat kesehatan masyarakat dan rawan terhadap penyakit.
2.2 Penyebab Pengusahaan Rawa Lebak
Masih Jauh Dari Harapan
Rawa
lebak merupakan ekosistem yang lebih cepat rusak dan berubah jika dibandingkan
dengan ekosistem lain, dan tidak hanya rentan terhadap perubahan langsung
seperti konversi menjadi lahan pertanian atau permukiman, tetapi juga rentan
terhadap perubahan kualitas air sungai yang mengalirinya (Lewis et al.,
2000). Selain itu, kendala non fisik, terutama masalah status
kepemilikan lahan yang banyak dikuasai oleh kelompok tertentu yang berprofesi
sebagai non petani (Arifin et al., 2006) dan ketidak-jelasan kepemilikan lahan
(Irianto, 2006). Dengan kondisi
demikian, apabila ekosistem rawa lebak tidak dikelola dan diatur dalam
pemanfaatannya, maka hal itu dapat menimbulkan konflik. Konflik menurut Kartodihardjo dan Jhamtani
(2006) dapat terjadi apabila tidak adanya
kesepakatan dalam menetapkan aturan main pengelolaan sumberdaya alam
yang digunakan sebagai landasan. Muara dari keadaan di atas, pada gilirannya
dapat mempercepat proses pengrusakan/degradasi. Kenyataan membuktikan bahwa
lahan rawa lebak sampai saat ini belum dapat memberikan produktivitas seperti
yang diharapkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nazemi et al.,
(2006) menemukan beberapa faktor penyebab lainnya sehingga pengusahaan
lahan rawa lebak belum memberikan hasil yang maksimal diantaranya:
1. Adanya
persepsi dari petani yang keliru bahwa usahatani yang dijalani sekarang telah
memberikan hasil yang maksimal,
2. Kurangnya
modal
3. Akses
teknologi yang rendah,
4. Sifat
subsisten petani
5. Berusahatani
karena kebiasaan.
Disisi lain, beberapa faktor yang mendukung dalam
pengembangan usahatani seperti padi, terong, labu/waluh di lahan rawa lebak
menunjukkan tingkat keuntungan yang cukup baik yang dinyatakan dengan R/C >
1 atau menguntungkan diusahakan,
kontribusi usahatani terhadap pendapatan cukup besar dilihat dari pendapatan
bersih petani, dan pemasaran hasil yang dapat diserap pasar walaupun pasar
lokal. Peluang pengembangan usahatani di lahan ini cukup besar, dalam rangka untuk
meningkatkan kesejahteraan petani dan
mendukung ketahanan pangan di daerah maupun nasional (Zuraida et al.,
2006).
Selanjutnya, adanya potensi lahan rawa lebak yang tersedia masih cukup
luas, yang apabila diasumsikan bahwa 10 persen saja dari luas yang tersedia
dapat dikelola/dimanfaatkan untuk padi dengan baik dengan intensitas tanam
meningkat dari nol kali menjadi satu kali tanam, maka dapat menghasilkan produksi
padi sekitar 2 663 200 ton menjadi 5 326 400 ton dari satu kali tanam menjadi dua kali tanam dengan rata-rata
produktivitas 2 ton per hektar. Hasilnya akan terjadi lompatan produksi yang
sangat signifikan, apabila produktivitasnya bisa direalisasikan mencapai 3 ton
per hektar atau bahkan 4 ton per hektar (Irianto, 2006).
2.3 Solusi dalam memanfaatkan lahan
rawa lebak
Jika kita melihat
luas lahan rawa lebak yang belum dimanfaatkan, ini merupakan potensi yang bisa
dikembangan menjadi areal lahan pangan untuk menyokong produksi pangan secara
nasional, apalagi jika diiringi dengan metode yang tepat. Dari permasalahan inilah
kami berinisiatif memberikan gagasan berupa Lahan Pangan Abadi (LPA) yang akan
dikembangkan di kabupaten Ogan Ilir sebagai pembangunan pertanian secara
berkelanjutan di bidang pangan dengan metode System Rice Intensification (SRI).
Menuju Lahan Pangan Abadi (LPA)
Berkurangnya areal
lahan pangan serta meningkatnya kebutuhan pangan nasional terutama beras akibat
pertambahan jumlah penduduk menyebabkan pilihan pemenuhan kebutuhan pangan
diarahkan pada pemanfaatan lahan rawa lebak, baik untuk kepentingan pertanian
maupun untuk pemukiman penduduk. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Selatan tahun 2010 menyebutkan bahwa jumlah penduduk Sumatera
Selatan berjumlah 7.344.878 jiwa dan targetan kebutuhan pangan (padi) sumsel
sekitar 3,1 juta ton per tahun. Jika secara nasional untuk memenuhi kebutuhan
pangan 234 juta masyarakat Indonesia (BPS, 2010) maka targetan produksi padi
tahun ini lebih dari 53,38 juta ton.
Tabel 1. Target Produksi dan Proyeksi
Impor Padi Nasional Tahun 2000 – 2010
(000 ton)
|
2000
|
2001
|
2002
|
2003
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
Kebutuhan
|
52,055
|
52,114
|
52,078
|
53,000
|
53,795
|
54,601
|
55,421
|
56,252
|
57,096
|
57,952
|
58,822
|
Produksi
|
49,429
|
49,144
|
50,078
|
51,000
|
51,941
|
52,900
|
53,877
|
54,890
|
56,023
|
57,191
|
58,387
|
Impor
|
2,626
|
2,970
|
2,000
|
2,000
|
1,854
|
1,701
|
1,544
|
1,362
|
1,073
|
761
|
435
|
Sumber : Bappenas, 2010
Untuk mendukung
program lumbung pangan baik secara nasional maupun daerah Sumatera Selatan,
tentunya ini harus di dukung oleh ketersediaan dan pemanfaatan lahan yang ada
terutama lahan rawa lebak. Namun jika kita melihat kondisi sekarang, lahan rawa
lebak yang ada di Sumatera Selatan khusunya di Ogan Ilir sudah banyak dialih
fungsikan, baik sebagai lahan industri dan perumahan serta sebagian besar lahan
rawa lebak Ogan Ilir tidak termanfaatkan dengan baik.
Berdasarkan
permasalahan ini, solusi yang yang paling tepat adalah menjadikan lahan rawa
lebak di Kabupaten Ogan Ilir khususnya di Kecamatan Indralaya sebagai Lahan
pangan Abadi. LPA sangat mungkin untuk diterapkan karena adanya UU No. 41 tahun
2009 yang mengatur tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
serta diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011
tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU ini
bertujuan agar tidak terjadinya pengalih fungsian lahan pertanian pangan
sebagai lahan industri, perumahan rakyat, dsb.
Jika LPA berhasil
diterapkan maka tidak akan ada lagi penyalahgunaan fungsi lahan pertanian
bidang pangan, rakyat akan sejahtera dan tentunya LPA dapat membantu program
lumbung pangan baik secara nasional maupun daerah. LPA tidak hanya dapat
diterapkan di Kecamatan Indralaya, Ogan Ilir saja, tetapi dapat diterapkan
disemua daerah yang mempunyai lahan rawa lebak yang berpotensi untuk dikembangkan
sebagai lahan pangan. Karena secara nasional luas areal lahan rawa lebak yang
belum termanfaatkan seluas 7 juta ha lebih.
Untuk memenuhi
kebutuhan pangan baik secara nasional maupun daerah, maka tidak hanya dari
keluasan lahan, tetapi juga diiringi dengan metode yang tepat, tujuannya untuk
mendapatkan output atau produksi yang melimpah. Maka konsepan Lahan Pangan
Abadi sangat cocok jika dipadukan dengan metode System Rice Intenfication (SRI),
dimana konsepan LPA mendukung dalam segi ketersediaan lahan secara terus
menerus dan metode SRI mendukung dalam segi peningkatan hasil produksi,
sehingga jika LPA dan SRI kita padukan maka tidak mustahil program ini akan
menjadi penyokong utama program lumbung pangan secara nasional.
Metode Syestem Rice Intensification (SRI)
Metode budidaya
padi metode SRI ini merupakan terobosan budidaya padi dengan cara mengubah
pengelolaan tanaman, tanah, air dan unsur hara. Penerapan gagasan SRI secara
umum didasarkan pada enam komponen penting, yaitu: Transplantasi bibit muda
(bibit ditanam satu batang), Jarak tanam lebar, Kondisi tanah lembab (irigasi
berselang), pendangirandan menggunakan kompos serta mikro organisme local
(Ramshaw, 2001).
System of Rice
Intensification atau S.R.I.
merupakan salah satu system budidaya yang dapat digunakan untuk intensifikasi
pertanian. Sistem ini dapat meningkatkan produktivitas padi dengan cara
mengubah pengelolaan tanaman, tanah dan air. Penerapan S.R.I. berdasarkan atas
lima komponen penting yaitu, penanaman bibit muda (6–12 hari setelah semai),
bibit ditanam satu batang per lubang, jarak tanaman yang lebar (30 cm x 30 cm),
kondisi tanah yang lembab (tidak tergenang) dan rutin dilakukan penyiangan
untuk menghilangkan gulma serta meningkatkan aerasi tanah (Sutaryat, 2008).
Penanaman satu batang per lubang akan menurunkan kebutuhan benih serta kondisi
tanah yang tidak tergenang dapat meningkatkan aerasi dan efisiensi penggunaan
air (Departemen Pertanian, 2009).
Amruzi Minha (2011)
mengatakan bahwa lahan rawa lebak Sumatera Bagian Selatan tergolong kelas 3A
dibandingkan dengan Jawa yang rawa lebaknya tergolong kelas 1. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Handout of Cornell University USA, 2007.
Produksi padi dengan metode SRI di daerah Sumatera Bagian Selatan tepatnya di
Lampung produksi padi bisa mencapai produksi 8,5 ton per ha. Sedangkan untuk
daerah Jawa sendiri tepatnya di Jawa Barat produksi padi dengan metode SRI bisa
mencapai 13 ton per ha. Perbedaan ini wajar mengingat golongan kelas rawa lebak
SumBagSel yang hanya golongan 3a dan Jawa tergolong kelas 1. Berikut kami
sajikan data hasil penelitian yang dilakukan oleh Handout of Cornell University USA, 2007. Data dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2.
Perbandingan Produktivitas Padi S.R.I. dan Non S.R.I. di Beberapa Propinsi di
Indonesia, Tahun 2000-2006
Provinsi
|
Hasil Produksi ton/ha
|
Tahun Pelaksanaan
|
|
Padi Metoode SRI
|
Padi konvensional
|
||
Jawa Barat
|
6,8 – 13,7
|
3.5-6.8
|
2000-2006
|
Sulawesi Sel
|
7,15 – 8,7
|
3.19-5.18
|
2002-2004
|
NTB
|
7.03-9.63
|
4.2-6.16
|
2003-2004
|
Bali
|
13.3
|
8.4
|
2006
|
NTT
|
11.7
|
4.4
|
2002
|
Lampung
|
8-8.5
|
4,5
|
2002
|
Sumber : Handout of Cornell
University USA, 2007.
Konsep LPA dan Metode SRI Terhadap
Lumbung Pangan Nasional
Targetan pangan nasional tahun 2010 kemarin berjumlah 58,822 juta ton, sedangkan produksi yang dihasilkan pada tahun yang sama sebanyak 58,387 juta ton. Artinya produksi pangan nasional tahun 2010 kemarin belum mencukupi kebutuhan pangan nasional di tahun yang sama.
Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah yang mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Berdasarkan data yang didapat, Sumatera Selatan menyumbang sedikitnya 5% dari seluruh kebuthan pangan nasional.
Targetan pangan nasional tahun 2010 kemarin berjumlah 58,822 juta ton, sedangkan produksi yang dihasilkan pada tahun yang sama sebanyak 58,387 juta ton. Artinya produksi pangan nasional tahun 2010 kemarin belum mencukupi kebutuhan pangan nasional di tahun yang sama.
Sumatera Selatan merupakan salah satu daerah yang mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Berdasarkan data yang didapat, Sumatera Selatan menyumbang sedikitnya 5% dari seluruh kebuthan pangan nasional.
Jika kita
mengkalkulasikan hasil produksi, penerapan konsep LPA di Kecamatan Indralaya
Kabupaten Ogan Ilir dengan metode SRI, maka akan dapat kita hitung peranan
konsepan LPA dan metode SRI terhadap kebutuhan pangan nasional dan Summatera
Selatan. Produksi ini di hitung berdasarkan lahan rawa lebak total Ogan Ilir
dan lahan rawa lebak yang belum termanfaatkan.
Dapat disimpulkan bahwa
sumbangsih konsep LPA dengan metode SRI di Kec. Indralaya, Kab. Ogan Ilir
berdasarkan lahan yang belum termanfaatkan adalah 0.8% terhadap kebutuhan
pangan nasional dan 15,32% terhadap kebutuhan pangan SumSel, sementara jika
secara konvensional maka Kecamatan Indralaya hanya mampu mensuplai 0,4%
kebutuhan pangan nasional dan 8,11% terhadap kebutuhan pangan Sumatera Selatan.
Sedangkan jika berdasarkan luas lahan rawa lebak total yang ada di Ogan Ilir
maka sumbangsih produksi pangan konsep LPA dengan metode SRI adalah 1,79%
terhadap kebutuhan pangan nasional dan 33,96% terhadap kebutuhan pangan
regional SumSel.
Tentu ini merupkan
hasil yang luar biasa jika ini berhasil diterapkan. Maka tidak heran kalau
Sumatera Selatan akan menjadi daerah sentra pangan sebagai pensuplai lumbung
pangan nasional secara berkelanjutan. Semoga konsep LPA dengan metode SRI dapat
diterapkan diseluruh kawasan rawa lebak Indonesia pada umumnya dan terkhusus di
Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir, sehingga Indonesia dapat surplus pangan
dan tidak lagi mengimpor beras dari Negara lain.
III.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1
Permsalahan dalam pengembagan lahan rawa
lebak yaitu Kondisi dan karakteristik fisik lahan pasang surut merupakan lahan yang tidak
normal, permasalahan yang terkait dengan ketenagakerjaan dan sumber daya manusia
di daerah rawa, produksi pertanian masih rendah, pengelolaan air (O&P) yang
baik di kawasan lahan reklamasi rawa belum menjamin secara otomatis terjadinya
peningkatan produktivitas pertanian pada tingkat yang optimal, belum adanya
lembaga pendukung di daerah rawa yang berperan aktif dalam membantu petani
untuk mengembangkan usaha-usaha budidaya pertanian maupun usaha-usaha lain yang
berbasis pertanian guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, aksesibilitas
relatif masih rendah dan terbatasnya sumber-sumber air bersih
3.1.2
Penyebab pengusahaan rawa lebak masih
jauh dari harapan karena adanya persepsi dari petani yang keliru bahwa
usahatani yang dijalani sekarang telah memberikan hasil yang maksimal, kurangnya modal, akses teknologi yang rendah,
sifat subsisten petani dan berusahatani karena kebiasaan.
3.1.3
Solusi untuk memanfaatkan lahan rawa
lebak salah satu contohnya yaitu gagasan berupa Lahan
Pangan Abadi (LPA) yang dikembangkan di kabupaten Ogan Ilir sebagai pembangunan
pertanian secara berkelanjutan di bidang pangan dengan metode System Rice Intensification (SRI).
3.2 Saran
Lahan rawa lebak
terdapat cukup luas di Indonesia, merupakan salah satu alternatif areal yang
dapat dikembangkan untuk mengatasi kebutuhan pangan yang terus meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya alih fungsi lahan
setiap tahun.
DAFTAR PUSTAKA
(Online, diakses 24 Maret
2013)
Anonim. 2012. Pertanian
di Rawa Lebak dan Pengembangannya.
Rois. 2011. Model Pengelolaan Lahan Rawa Lebak Berbasis Sumberdaya Lokal
Untuk Pengembangan Usahatani Berkelanjutan. Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar