Pengaturan perdagangan preferensial
Perdagangan internasional
merupakan
salah satu
bagian
dari kegiatan
ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perhatian dunia usaha
terhadap bisnis internasional juga semakin
meningkat, hal ini terlihat dari semakin
berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antarnegara. Dewasa ini masyarakat dunia sedang dirasuki
fenomena globalisasi
perdagangan
bebas. Semua kalangan nyaris
membicarakan prospek
liberalisasi berupa penerapan sistem ekonomi
pasar (free market system)
secara global. Euforia liberalisasi ini kemudian menumbuhkan berbagai kerjasama ekonomi di tingkat regional maupun global, baik itu menjelma dalam wujud WTO (World Trade Organization),
APEC (Asia Pacific Economic
Cooperation), EC (European Community), NAFTA (North America Free Trade Area)
atau pun AFTA (ASEAN
Free Trade Area).
Pada tatanan global, WTO (World Trade Organization/Organisasi Perdagangan Dunia)
merupakan satu-satunya organisasi
internasional yang
mengatur perdagangan
internasional. Prinsip dan dasar
pembentukan
WTO adalah untuk mengupayakan
keterbukaan batas
wilayah,
memberikan jaminan atas
“Most Favoured Nations Principle (MFN)” dan perlakuan non diskriminasi oleh
dan
di antara negara anggota, serta komitmen terhadap transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya
pasar nasional terhadap perdagangan
internasional,
dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan membangun perdamaian dan stabilitas. Pada
saat yang
bersamaan keterbukaan
pasar
harus disertai
dengan kebijakan nasional
dan internasional yang sesuai sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan dan
pembangunan
ekonomi sesuai
dengan
kebutuhan dan aspirasi
setiap negara anggota.
Keanggotaan WTO tidak hanya didominasi oleh partisipasi negara-negara maju saja.
Negara-negara
berkembang
juga
memainkan peranan yang
sangat
penting dalam WTO. Hal ini tidak hanya dikarenakan oleh jumlah mereka, akan tetapi
menjadi lebih penting pada
era ekonomi
global, karena
negara-negara berkembang
tersebut meningkatkan
perdagangan sebagai
sarana yang
utama dalam upaya pembangunan. WTO membagi klasifikasi negara menjadi empat bagian, yaitu; developed countries (negara maju); developing countries
(negara
berkembang); least-developed
countries (negara
kurang maju);
dan net food-
importing developing countries (negara berkembang pengimpor makanan).
Organisasi internasional lainnya juga melakukan pembagian
terhadap
perekonomian negara-negara anggotanya. Bank Dunia (IBRD) mengklasifikasikan negara menurut pendapatan per kapita, yakni negara dengan
pendapatan per kapita rendah (low income
countries)
dengan pendapatan per
kapita sebesar US $ 675 atau kurang; negara
dengan pendapatan per kapita sedang (middle income countries) dengan pendapatan per kapita antara US$ 676-8.355; dan negara dengan pendapatan per kapita tinggi (high income countries) dengan pendapatan
per
kapita antara US$8.356 dan lebih.
Patokan terhadap klasifikasi negara, biasanya yang diikuti
adalah klasifikasi negara
yang dibuat oleh PBB.
Hal ini tampak
dari Pasal
XI (2) Perjanjian WTO. Tetapi jika berbicara tentang masyarakat internasional apabila dikaitkan dengan kepentingan ekonomi, maka masyarakat internasional terbagi dalam kategori negara-negara berkembang (Negara Berkembang) dan negara - negara maju (Negara Maju).
Meskipun ada klasifikasi ini, WTO tidak memberi pengertian atau batasan
tentang negara-negara
ini. Secara
umum
negara maju didefinisikan sebagai
negara
yang memiliki
tingkat pendapatan yang
tinggi, biasanya
merupakan negara-negara industri. Sedangkan negara
berkembang
didefinisikan
sebagai
negara yang memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Dan terdapat juga istilah,
negara yang memiliki ekonomi yang lebih
maju daripada negara berkembang
lainnya, namun tidak sepenuhnya menampakkan
tanda-tanda negara
maju,
dikelompokkan dalam istilah
negara
industri
baru, contohnya China, India, Brazil, dan
Meksiko.
Dalam tiga dekade terakhir ini konflik kepentingan ekonomi antara negara berkembang dan negara maju telah terpusat pada masalah perdagangan antarnegara.
Konflik
ini
dipicu oleh pandangan
yang berbeda antara
negara berkembang
dan negara
maju.
Di
satu
sisi,
negara
berkembang cenderung
mengambil kebijakan yang menghambat masuknya barang
dan jasa dari pelaku usaha asing, terutama dari negara maju. Sebagai negara berdaulat, tentunya negara berkembang
mempunyai keabsahan apabila menerapkan berbagai hambatan. Alasan
yang sering dikemukakan
adalah
untuk
melindungi lapangan kerja, sebagai sarana untuk memproteksi industri
yang dalam skala kecil, dalam rangka memperkuat pelaku usaha nasional,
hingga mendapatkan devisa.
Di sisi lain,
negara maju menghendaki agar tidak ada hambatan
yang diberlakukan oleh negara, termasuk yang diberlakukan oleh negara berkembang.
Tidak adanya hambatan diidentikkan dengan perdagangan bebas (free trade) yang
berarti
tidak
adanya
diskriminasi dari
mana
barang atau
jasa
berasal. Pasar menjadi penting karena produk yang diberlakukan pelaku usaha dari negara maju
harus dibeli. Pasar yang potensial bagi barang dan jasa pelaku usaha negara maju
ada
di negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan,
pertama konsumen di negara berkembang biasanya belum terbentuk. Konsumen di negara berkembang sangat senang dengan barang-barang yang berasal dari negara maju. Kedua, dari segi
jumlah penduduk, negara berkembang sangat potensial. Jumlah penduduk negara berkembang
sangat
fantastis
jika dibandingkan dengan jumlah
penduduk
di
negara maju.
Upaya negara maju untuk meneguhkan prinsip perdagangan internasional yang mereka yakini mendapat reaksi dari negara berkembang. Sudah sejak lama
negara berkembang memperjuangkan diubahnya prinsip tradisional perdagangan
internasional. Bagi negara
berkembang
yang pada
umunya
sedang
bergulat dengan masalah
pertumbuhan ekonomi, mereka tidak setuju apabila
ekonomi pasar diberlakukan begitu saja dalam perdagangan internasional.
Untuk itu, pada sidang United Nations
Conference
on
Trade and
Development (UNCTAD) pertama 1964, dikemukakan perlunya prinsip preferensi diberlakukan.
Sebenarnya
apa yang
dikehendaki oleh negara
berkembang telah
dibicarakan dalam perundingan GATT pada 1954-1955. Ketika itu, dibicarakan dan disetujui amandemen terhadap pasal
XVIII yang dianggap sebagai permulaan dan
differential treatment bagi negara
berkembang.18 Perlakuan yang berbeda untuk
negara berkembang ditindaklanjuti pada 1965
dengan memasukkan pasal-pasal yang dikelompokkan dalam
Bagian IV GATT.
Sekitar
dua
pertiga negara-negara anggota
WTO adalah negara-negara berkembang. Untuk
membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965,
suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal XXXVI - XXXVIII),
ditambah ke dalam GATT. Tiga pasal baru dalam bagian tersebut dimaksudkan untuk
mendorong negara-negara industri
dapat membantu pertumbuhan ekonomi
negara-negara
berkembang. Hal ini mengingat
beberapa
manfaat partisipasi
negara berkembang dalam WTO,
antara lain:
1.
Reformasi
fundamental bidang perdagangan pertanian;
2.
Keputusan untuk
menghilangkan secara bertahap kuota ekspor tekstil
dan pakaian jadi dari
negara berkembang;
3.
Pengurangan
bea masuk bagi
barang-barang industri;
4.
Perluasan cakupan barang-barang yang bea masuknya terikat ketentuan WTO
(bound tariff) sehingga sulit
dinaikkan;
5.
Penghapusan persetujuan bilateral yang menghambat arus perdagangan dari
barang-barang tertentu.
Pemberian perlakuan khusus bagi negara berkembang ini disebut dengan prinsip preferensi. Beberapa istilah yang digunakan dalam beberapa pasal GATT,
seperti istilah special measures
dan more favourable and acceptable conditions. Pada ketentuan-ketentuan WTO yang lain, istilah-istilah yang digunakan, seperti special treatment, special regard,
dan special attention. Prinsip mengenai
preferensi bagi negara berkembang adalah prinsip yang
mensyaratkan perlunya suatu
kelonggaran-kelonggaran atas aturan-aturan hukum tertentu bagi negara-
negara berkembang. Artinya negara-negara ini perlu mendapat perlakuan khusus manakala
negara-negara
maju
berhubungan dengan
mereka. Dasar
teori
dari sistem
preferensi
ini
adalah bahwa negara-negara harus diperbolehkan
untuk
menyimpang dari
kewajiban-kewajiban
MFN
untuk
memperbolehkan mereka
guna mengurangi tarifnya pada impor-impor barang manakala
barang-barang tersebut berasal dari negara-negara berkembang. Menurut mereka, hal tersebut
akan memberikan negara-negara berkembang suatu keuntungan kompetitif dalam masyarakat
industri yang
menjadi sasaran ekspor.
Pengaturan
perdagangan preferensial
Pengaturan Perdagangan
Preferensial (Preferential Trade Arrangements)
Ini
merupakan bentuk integrasi ekonomi yang paling longgar. Negara- negara yang menjadi
anggota dalam integrasi ini sepakat menurunkan hambatan-hambatan
perdagangan yang
berlangsung di antara mereka,
dan
membedakannya dengan yang diberlakukan terhadap negara-negara
luar yang bukan merupakan anggota. Contoh: Skema Preferensi Persemakmuran Inggris (British Commonwealth Preference Scheme).
A.
Penerapan
Prinsip Preferensi Bagi Negara Berkembang Dalam Perdagangan Bebas pada WTO
WTO
didirikan
negara
anggotanya dengan
maksud
dan tujuan bersama sebagaimana dicantumkan dalam mukadimahnya. Tujuan WTO sebagai berikut:
“Bahwa
hubungan-hubungan
perdagangan
dan kegiatan ekonomi
negara
anggota harus dilaksanakan dengan maksud untuk
meningkatkan standar hidup, menjamin lapangan kerja
sepenuhnya, peningkatan
penghasilan nyata,
memperluas produksi dan
perdagangan
barang dan
jasa,
dengan penggunaan optimal
sumber-sumber
daya dunia sesuai
dengan
tujuan
pembangunan berkelanjutan. Juga mengusahakan
perlindungan lingkungan hidup dan meningkatkan cara-cara pelaksanaannya dengan cara yang sesuai
dengan kebutuhan
masing-masing negara yang berada pada tingkat pembangunan ekonomi
yang berbeda. Dalam
mengejar tujuan-tujuan
ini diakui adanya suatu
kebutuhan akan langkah-langkah positif untuk
menjamin agar supaya negara
berkembang, teristimewa yang
paling terbelakang, mendapat bagian dari pertumbuhan perdagangan internasional
sesuai dengan
kebutuhan pembangunan.
Penerapan prinsip preferensi
bagi negara berkembang pada WTO dikelompokkan atas 6 kelompok yang
tercantum dalam
setiap perjanjian
WTO. Penerapan prinsip
tersebut, yaitu:
1. Kelompok pertama adalah S&D yang
ditujukan untuk meningkatkan
peluang perdagangan bagi negara berkembang. S&D berdasarkan kelompok ini digolongkan ke dalam the Enabling Clause. Maksud dari the enabling clause menyatakan bahwa negara
maju
dapat
memberikan
preferensi tariff
terhadap
produk-produk yang berasal dari negara berkembang
menurut the
Generalized
System
of
Preferences (GSP).
Program GSP ini merupakan suatu program pengurangan bea tarif masuk
termasuk terhadap
produk
negara
berkembang
ke
dalam negara maju. Program GSP ini diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang
tanpa adanya pelakuan yang sama dari
negara berkembang.
2. Kelompok kedua
adalah S&D yang
dimaksudkan
untuk
melindungi kepentingan-kepentingan negara berkembang. Pada the Agreement on the
Aplication of Sanitaryand
Phytosanitary Measures (SPS) yang
mewajibkan negara-negara
anggota WTO untuk mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan khusus negara-negara berkembang, terutama dalam mempersiapkan dan menerapkan the Agreement on the Application
of Sanitary and Phytosanitary Measures
(SPS).
3. Kelompok ketiga adalah S&D yang
memberikan fleksibilitas
kepada
negara
berkembang. Pada perjanjian
pertanian
(the Agreement
on
Agriculture (AA)
memberikan presentase de inimis untuk
memperhitungkan jumlah keseluruhan subsidi
domestik
yang berjalan sebesar 10 persen, lebih tinggi daripada yang diberikan kepada negara- negara maju, yaitu
5 persen.
4. Kelompok keempat, yaitu S&D dalam bentuk pemberian masa transisi
yang lebih panjang kepada negara berkembang. Pada Perjanjian tentang
Trade-Related Investment Measures (TRIMs), memberikan masa transisi kepada negara
maju
selama 2 tahun dan
waktu yang lebih lama bagi
negara
berkembang
dan negara terbelakang. Negara
berkembang
pada umumnya
5
tahun
dan
kepada negara-negara
terbelakang atau
least-
developed countries (LCDs) selama 7 tahun.
5. Kelompok kelima, yaitu S&D berupa teknis kepada negara berkembang
untuk mengatasi kesulitan-kesulitan teknis, finansial, dan
sumber daya dalam melaksanakan perjanjian-perjanjian WTO. Pada Perjanjian tentang
Trade Related Aspects of Intelelectual Property Rights (TRIPs),
mewajibkan negara-negara
maju
untuk
memberikan
bantuan-bantuan
teknis dan finansial kepada
negara
berkembang
dan negara-negara terbelakang dalam rangka membantu memfasilitasi negara-negara tersebut
dalam mengimplementasikan perjanjian TRIPs
secara penuh.
6. Kelompok keenam, yaitu S&D yang khusus diperuntukkan
bagi
negara-negara terbelakang. Pada dalam Perjanjian
Prosedur Lisensi
Impor atau Import
Licensing
Procedures (ILP)
menyatakan bahwa dalam mengalokasikan
lisensi,
pertimbangan khusus harus diberikan
kepada importir-importir yang mengimpor produk-produk yang berasal dari
negara berkembang, khususnya dari
negara-negara terbelakang.
B. Pemanfaaatan Prinsip
Preferensi
Bagi Negara Berkembang
Oleh
Indonesia Dan Kendala Yang Dihadapi Indonesia Di
Lapangan
Indonesia
menjadi anggota WTO
sejak tanggal
1
Januari 1995. Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization/WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang membawa konsekuensi baik
eksternal
maupun
internal. Indonesia
harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO. Hal ini sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau kontrak
yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan iktikad
baik). Konsekuensi internal Indonesia
harus melakukan
harmonisasi peraturan perandung-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Artinya dalam melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan
nasional
namun
tidak
melanggar rambu-
rambu ketentuan WTO. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang anggota WTO dan
penerapan
prinsip preferensi bagi negara berkembang juga diperoleh
oleh Indonesia. Salah satu
manfaat dari penerapan prinsip
ini yang dirasakan secara langsung oleh
Indonesia adalah dengan
diterapkannya GSP (the Generalized System of
Preferences/Sistem Preferensi
Umum) dalam keberhasilan
Indonesia untuk meningkatkan ekspornya,
terutama dalam ekspor
nonmigas. Tujuan pemberian GSP adalah untuk meningkatkan
devisa dan mempercepat
industrialisasi
dan pertumbuhan
negara-negara berkembang, dengan memberikan dan
membuka peluang untuk memasarkan barang-barang yang
dihasilkannya,
sehingga barang-barang tersebut dapat
bersaing dipasaran
negara-negara
maju.
Pada hakekatnya GSP diberikan
sepihak (non
reciprocal)
oleh
negara pemberi preferensi. Negara maju sebagai pemberi preferensi tidak
menuntut imbalan atas
konsesi tarif
yang diberikannya
kepada negara
berkembang serta tidak bisa dinegosiasikan. GSP merupakan pengecualian
prinsip-prinsip Most Favoured Nations Clause (pasal I GATT) yaitu negara
anggota GATT yang sudah maju dapat memberikan
perlakuan tarif yang
lebih rendah
terhadap produk-produk impor
dari
negara-negara
sedang berkembang ketimbang produk-produk yang sama dari negara maju dalam
jangka waktu tertentu. Prosedur yang harus ditempuh untuk mendapatkan fasilitas ini adalah negara pengekspor menginformasikan adanya fasilitas
GSP yang dapat dimanfaatkan oleh importir di negara tersebut. Selanjutnya
importer mengajukan permohonan untuk mendapatkan pembebasan/penurunan tarif
kepada pejabat
terkait
dengan
menunjukan Certificate
of Origin.
GSP atau sistem preferensi umum ini diberikan oleh negara-negara maju kepada negara-negara miskin dan berkembang. Sampai dewasa ini
Indonesia telah menikmati fasilitas sistem preferensi umum (GSP)
yang berupa pengurangan dan penghapusan bea masuk atas ribuan produk ekspor oleh beberapa negara maju. Prinsip
preferensi bagi negara berkembang ini memberikan dampak
positif
terhadap perekonomian Indonesia.
Manfaat
yang dirasakan langsung adalah dengan pemberian GSP terhadap Indonesia karena dengan pemberian GSP ini dapat meningkatkan
nilai
ekspor
Indonesia ke luar negeri. Pemberian GSP terhadap Indonesia ini diberikan
hanya untuk produk nonmigas saja dan tidak berlaku untuk produk migas.
Berikut ini merupakan tabel daftar negara
yang memberikan GSP kepada Indonesia.
Tabel
2.
Daftar Negara Pemberi GSP
kepada Indonesia
No.
|
Nama
Negara
|
1.
|
Australia
|
2.
|
Belarus
|
3.
|
Kanada
|
4.
|
Jepang
|
5.
|
Selandia Baru
|
6.
|
Norwegia
|
7.
|
Swiss ditambah Liechtenstein
|
8.
|
Turki
|
9.
|
Amerika
Serikat
|
10.
|
Uni Eropa :
|
Pemberian GSP ini dapat meningkatkan nilai ekspor Indonesia ke luar
negeri. Sebagai contoh,
pemberian GSP oleh Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia. Amerika Serikat merupakan negara yang paling besar
dalam memberikan fasilitas GSP. Program GSP merupakan produk dari
Kongres AS dan tertuang dalam Undang-Undang Perdagangan tahun 1947.
Tujuan dari program ini adalah untuk
membantu negara berkembang memperluas ekonomi mereka dengan mengizinkan barang-barang tertentu yang akan diimpor ke AS mendapatkan fasilitas bebas bea masuk. Di bawah program GSP, Pemerintah AS memberikan pembebasan tarif bea masuk. Indonesia
telah menikmati program
GSP
dengan memasukkan
produk
ekspor Indonesia ke pasar AS dengan mendapatkan fasilitas pembebasan
bea
masuk.
Beberapa hal yang
perlu diketahui untuk suatu produk baru agar dapat menikmati
fasilitas GSP
adalah
sebagai berikut:
1. Produk harus memenuhi syarat sebagaimana terdapat dalam skema GSP Amerika
Serikat yang secara umum meliputi cakupan produk, tingkat
tarif GSP, mekanisme pengamanan, dan ketentuan asal barang.
Cakupan produk (product coverage) GSP AS disuguhkan dalam bentuk daftar positif (positive list)
yaitu semua produk yang tercantum
dalam Buku Tarif AS dalam HS 8 digit dengan kode A kecuali untuk tekstil dan apparel yang
tercakup dalam
persetujuan
tekstil
dan beberapa
produk “import sensitive” seperti jenis elektronik. Jumlah produk yang
tercakup dalam pemberian fasilitas GSP ada sekitar 4.800
produk.
2. .
Mekanisme pengamanan yang diterapkan oleh
pihak AS berbentuk:
a) CNL (Competitive Need Limit), yaitu batasan nilai ekspor suatu produk yang
tidak boleh
melebihi US$150 juta dan/atau pangsa impor
produk tersebut
di
AS
tidak
boleh
melebihi
50%.
Jika produk
tersebut telah
melebihi ketentuan tersebut
maka
pada
tahun berikutnya, produk tersebut tidak dapat
lagi menukmati fasilitas
GSP AS;
b) Escape Clause
yaitu apabila pemberian fasilitas
GSP
tersebut
dianggap dapat membahayakan industri
dalam negeri maka AS
akan
menunda pemberian
fasilitas
GSP. Namun demikian, negara
penerima
fasilitas
GSP
yang sudah melampaui
CNL dapat menyampaikan petisi kepada AS untuk
dapat
dipertimbangkan atau
diberikan waiver
CNL.
3. Pemenuhan
ketentuan asal
barang yang disyaratkan. Kriteria barang yang dianut oleh
GSP AS adalah Kriteria Persentase. Untuk semua
produk yang diberikan fasilitas GSP (tercakup dalam cakupan produk
GSP Amerika Serikat), Amerika Serikat menetapkan kandungan lokal sebesar
35%
dari eks harga pabrik (ex-factory price).
Pemberian GSP oleh negara maju terhadap negara berkembang ini tidak diberikan tanpa syarat. Ada ketentuan yang harus dilaksanakan oleh
negara berkembang untuk memperoleh GSP tersebut. Aturan main pemberian GSP oleh negara maju, antara satu
negara dengan negara
lainnya sangat berbeda. Namun, secara prinsip pemberian fasilitas ini senantiasa didasarkan kepada pasal-pasal mengenai pemberian preferensi
yang terdapat di dalam
perjanjian perdagangan
internasional GATT
dan WTO.
Uni Eropa adalah negara pertama yang menerapkan skema GSP yang
dimulai pada tahun 1971. Saat ini, secara umum kriteria negara-negara yang mendapatkan GSP UE tercantum dalam Annex 1 peraturan GSP UE dengan
kriterianya secara umum meliputi: ketetapan umum dari peraturan GSP UE,
ketetapan khusus yang diberikan bagi:
1. negara-negara yang memberikan perlindungan bagi
hak-hak buruh,
2. ketetapan khusus yang diberikan bagi negara-negara yang memberikan
perlindungan bagi lingkungan, dan
3. ketetapan khusus yang diberikan bagi negara-negara yang memerangi
produksi dan penyeludupan narkotika.
Selain itu fasilitas GSP juga
menjadi daya
tarik
tersendiri bagi investor
untuk
menanamkan modalnya di Indonesia. Karena dengan mendapatkan fasiltas tersebut produk kita menjadi lebih
murah dan dapat
bersaing dengan produk
sejenis dari negara eksportir lainnya.
Sehingga
banyak investor asing tertarik untuk
menanamkan
modalnya di Indonesia dengan harapan dapat memanfaatkan fasilitas GSP yang
di miliki.
Indonesia
sebagai negara berkembang
mengalami kendala dalam
pelaksanaan prinsip preferensi bagi negara berkembang ini. Kendala yang
dihadapi Indonesia merupakan
kendala dalam
pelaksanaan
GSP
tersebut.
Pemanfaatan fasilitas GSP
yang diberikan
oleh negara maju tidak termanfaatkan secara maksimal
oleh eksportir Indonesia.
Pertama, hal
ini dapat terjadi karena tidak semua produk yang diberikan GSP adalah produk ekspor non migas Indonesia. Kedua karena
ketidaktahunan para eksportir Indonesia tentang fasilitas GSP karena kurangnya informasi dari pemerintah
atau memang keengganan dari eksportir Indonesia untuk masuk pasar negara
maju pemberi GSP karena kekhawatiran kalah bersaing walau ada fasilitas GSP
atau eksportir kita yang hanya berani untuk memasarkan produknya di dalam
negeri saja. Selain itu
adanya
batas
waktu (jangka waktu) pemberian GSP.
Apabila jangka waktu GSP ini telah
berakhir, maka untuk melakukan
perpanjangan dalam perjanjian GSP ini dibutuhkan waktu yang lama dalam melakukan perundingan
dengan negara
pemberi GSP.
Sebagai
contoh,
dengan habisnya jangka waktu pemberian GSP oleh Amerika Serikat
kepada Indonesia,
Kedutaan Besar Indonesia di Washington DC
membutuhkan waktu
10
bulan
untuk
melakukan
pendekatan
dan negosiasi terhadap
pemerintah Amerika Serikat itu sendiri.
Dalam perkembangannya, tata cara pemberian GSP oleh negara maju kepada negara penerima GSP selalu berubah-ubah menurut kebutuhan,
sering kali didapati bahwa perubahan-perubahan tersebut cenderung makin memperkecil
ruang lingkup preferensi yang sudah dinikmati oleh pengusaha pengguna GSP atau malah dihapuskan preferensi tersebut. Karena GSP pada hakikatnya adalah pemberian preferensi dari satu negara ke negara lain maka sebagian besar dari perubahan tata cara maupun skema GSP yang diberikan
tidak
dilakukan perundingan untuk adanya suatu perubahan. Sistem preferensi umum yang diberikan negara maju secara unilateral dapat ditarik sewaktu-waktu
sehingga posisi negara berkembang sangat lemah.
Makasih atas informasinya..
BalasHapussangat menambah pengetahuanku... :D